KEHIDUPAN
REMAJA YANG PENUH IMITASI
Katakanlah
bahwa sekarang ini era modern. Tetapi yang dimaksud modern oleh kalangan
tertentu dengan modern menurut persepsi remaja, tidaklah sama. Remaja memaknai
pergaulan era modern dengan mencampur adukan halal dan yang haram. Yang halal
dibuatnya menjadi remang-remang, demikian pula dengan yang haram. Jadi benang
merah yang membatasi antara yang “hitam”
dan yang putih,
kini telah menjadi kelabu
karena disamarkan dengan lebel modernisasi. Termasuk dalam hal pergaulan. “Pergaulan yang
modern !” kata mereka. Padahal jika ingin tahu, modernisasi yang mereka maksud
hanyalah sebuah peleburan yang semu, imitasi dan penuh kepalsuan.
Imitasi
berarti sesuatu yang murah, palsu atau tiruan. Ngomong-ngomong soal benda
imitasi, benda ini biasanya mudah di dapat terutama di pedagang kaki lima.
Barang murahan ini ada karena terdorong popularitas benda yang asli. Pemilik
imitasi biasanya kagum dengan barang aslinya, namun tak mampu membelinya.
Imitasi juga dapat dikatagorikan kejahatan jika si pembuat mengakuinya sebagai
barang yang asli padahal aspal (asli tapi palsu). Walaupun kadang nyaris serupa
atau mirip, tapi tetap saja yang imitasi itu palsu.
Barang
imitasi sebagai barang palsu keindahannya tidak bertahan lama. Pudar karena
tidak trend lagi atau mungkin warna dan bentuknya cepat berubah sehingga
keindahannya pun hilang. Imitasi (benda bohong-bohongan, palsu) ini akan
ketahuan juga palsunya seiring dengan perputaran waktu.
Di dalam
kehidupan masyarakat di sekitar kita, sering dijumpai perilaku-perilaku imitasi
tersebut. Pola imitasi yang diterapkan dalam kehidupan ini seperti wabah
penyakit yang gampang sekali terjangkit. Gampang sekali tersebar meluas. Era
modern menjadi era gudangnya perilaku imitasi.
Menurut
majalah Islam Sabili, imitasi dalam pola kehidupan adalah suatu tingkah laku
yang mengidentifikasikan atau meyamakan dirinya dengan tokoh yang dikagumi atau
tokoh favorit. Sikap ini berbeda dengan kekaguman, simpati ataupun kebanggaan
atas sesuatu. Pola imitasi cenderung memasukkan kepribadian, tingkah laku,
hobi, sifat maupun kegemaran si tokoh tersebut ke dalam dirinya. Pendek kata
munculnya suatu keinginan yang mendalam untuk menjadikan “diriku” itu
sebagai “dirinya”.
Pola
imitasi ini sangat berbahaya mengingat yang dijadikan pola imitasi itu adalah
para selebritis yang amoral. Banyak perilaku artis dalam berpakaian atau
bertingkah laku dijadikan idola atau ditiru oleh remaja-remaja masa kini.
Akibatnya buka-bukaan aurat, tindik, vandalisme, hingga seks bebas menggejala
dikalangan remaja sebagai akses peniruan (imitation) dari artis yang
berperilaku seperti itu.
Peleburan
(imitation) yang dipaksakan tersebut akan membawa dampak kejiwaan yang
gampang sekali kita lihat. Tidak semua orang berhasil dalam proses peleburan
itu. Akhirnya muncullah sikap yang disebut over akting, GR (gede rasa),
cari perhatian, mejeng dan sebagainya. Dan semua kegiatan yang dilakukan itu
hanya untuk mendapatkan satu sasaran, yaitu perhatian atau kepedulian orang
lain atas sikapnya. Dengan peniruan itu mereka berharap dapat disejajarkan
dengan artis-artis idolanya.
Akhir-akhir
ini kalangan artis muncul trend tindik pada telinga, hidung, dan bibir.
Bergerombolan remaja-remaja idolanya ditindik. Ketika muncul Britney Spears
dengan baju ketat, pusar terbuka dan celana yang hampir melorot, maka
menjamurlah pakaian ketat dan celana yang hampir melorot hingga memperlihatkan
celana dalamnya. Beberapa tahun yang lalu saat ngetrend-nya model rambut
ala Lady Dy, para remaja putri berbondong-bondong menyamakan model rambutnya.
Atau laki-laki yang berusaha menjelmakan dirinya seperti sosok Elvis Presley
ataupun The Beatles dikarenakan kekasih mereka teramat sangat gandrungnya
dengan artis-artis itu.
Di dalam
dunia kecantikan, dunia panggung, dunia pentas, dunia film, dunia kepahlawanan
maupun dunia musik, sudah dapat dipastikan dua dari tiga orang penggemar
diantaranya adalah penggemar fanatik yang meniru perilaku artis idolanya itu.
Sosok heroik seperti Superman, Batman, Saras 008, Superboy, Ninja, Rambo, dan
serentetan tokoh heroik lainnya mudah sekali mewabah dikalangan anak-anak.
Bahkan tak jarang pula orang tua yang mendorong anaknya untuk bersikap ala sang
tokoh.
Ironisnya,
mereka tidak akan sadar akibat pola imitasi tersebut. Mereka akan kehilangan
jati dirinya, sebab tingkah imitasi yang dilakukan tidak berimbang dengan
kondisi rohaninya. Artinya rohaninya tak bisa menerima. Boleh jadi menolak.
Dalam kondisi seperti itu, mereka akan lenyap ketika kesendirian kembali
padanya. Segala problema yang lalu muncul dan bercampur dengan problema yang
baru. Begitu dan begitu seterusnya selama tidak ada keseimbangan antara
jasmaniyah dan rohaniyah.
Keadaan
rohaniah yang sejak mula dicipta dalam keadaan-keadaan bersih dan Islam
(tunduk) tak bisa dicampur dengan peng-imitasi-an jahiliyah tersebut. Bagaikan
air dan minyak. Kalaupun tercampur, campuran itu dapat menyatu dan akhirnya
lapisan minyak akan mengambang ke atas, menutupi permukaan air yang jernih.
Sehingga partikel kehidupan yang ada dalam air akan mati (walaupun zat air itu
sendiri tetap ada). Demikian halnya manusia, pemaksaan imitasi terhadap pribadi
akan menutupi cahaya Islam yang ada dalam rohaninya. Keadaan ruh akan kering,
gersang, lambat-laun akan mati bila lapisan minyak yang penuh dengan keangkuhan
tetap saja berada dalam permukaan.
Pola
imitasi yang paling berbahaya adalah peniruan terhadap perilaku menyimpang para
artis, seperti seks bebas, narkoba, miras, buka-bukaan aurat, dan perilaku
vandalisme seperti pengrusakan dan corat-coret dinding yang sering diperagakan
para artis dalam sinetron atau film.
Lebih
berbahaya lagi jika perilaku menyimpang itu dianggap suatu kebenaran bahkan
dinilainya sebagai bagian dari kemajuan (modern). Banyak remaja pria yang
merasa pede dengan anting di telinga, hidung dan bibirnya. Begitu pula banyak
remaja putri yang merasa sebagai anak gaul (modern) dengan baju ketat dan make
up ala artis.
Padahal
kemajuan atau modern tidak identik dengan semua itu. Perilaku tersebut tak
lebih dari perilaku jahiliyah yang menjijikan. Modern adalah sesuatu yang maju,
bukan hanya dalam bidang Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tapi juga
imtak (iman dan taqwa). Tidak bisa dikatakan modern jika hanya teknologi yang
maju sementara akhlak jauh terjerembab ke lembah jahiliyah (kebodohan).
Sumber : Faruq Al Farabi, Buku Remaja Gaul Kebablasan,
Penerbit Lintas Media Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Silahkan Jika Anda Ingin Memberikan Komentar, Namun Tolong Gunakan Bahasa Yang Sopan"