Administrasi Guru PAI Administrasi Guru Produktif Downloads Renungan

Sabtu, 05 Mei 2012

Remaja Maunya Yang Serba Instan

 REMAJA MAUNYA YANG SERBA INSTAN

Ada peneliti remaja yang mengatakan bahwa remaja sekarang mempunyai karakter yang 1600 amat jauh berbeda dengan remaja-remaja tempo dulu. Jika remaja zaman dulu cenderung aktif, kreatif, ulet dan mau berusaha. Sedang remaja sekarang sudah kadung dimanjakan oleh segala macam tontonan dan makanan instan. Zaman yang serba ada ini ternyata   mampu  mencuci  otak  remaja  menjadi  seorang  pemalas  dan lamban dalam berfikir serta bertindak. Apalagi ditambah dengan adanya teknologi yang tidak dibarengi kemajuan akhlak, maka teknologi itu akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Bagi sebagian orang, fenomena ini menjadi sebuah kekalutan tersendiri. Kekalutan dan ketegangan jiwa merebak dan rasa aman menjadi hal yang mahal. Lihat saja, setiap hari televisi menyuguhkan tontonan gratis tentang seks, kekerasan dan horor. Semuanya telah nyata-nyata meracuni generasi kini. Akibatnya, kejahatan remaja modern terkadang kelewat sadis. Tak jarang sadisme itu dilakukan karena hal sepele bahkan sama sekali tidak di latar belakangi masalah, hanya iseng. Itulah perilaku instan.

Perilaku instan adalah perilaku yang tidak bertanggung jawab, semau gue, dan mengingkari norma. Perilaku yang hanya memikirkan diri sendiri. Kerugian orang lain yang diakibatkan perbuatannya, dianggap urusan orang itu. Perilaku instan dapat juga diibaratkan lempar batu sembunyi tangan, yaitu melemparkan kesalahan pada orang lain.

Kata instan sendiri dapat berarti hangat, siap saji, mudah, cepat, atau jalan pintas. Instan juga dapat berarti mudah basi, norak atau tidak pantas.

Di era modern ini, perilaku instan tengah menggejala seiring dengan zaman yang semakin instan. Di era ini ada restoran instan (cepat saji), mie instan (mudah diseduh) dan makanan instan lainnya. Umumnya orang ingin cepat dan mudah. Begitu juga dalam perilaku, banyak yang mengambil jalan pintas agar mudah mencapai tujuan, tak peduli orang lain dilangkahi atau dirugikan.

Pantas jika periode ini dikatakan sebagai periode keberingasan. Buktinya perkelahian remaja yang dulu hanya terbatas di Jakarta, kini merambah ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, Semarang, dan lain-lain. Bahkan akhir-akhir ini perkelahian pemuda antar kampung sudah menjadi trend mark. Bukan hal mustahil masa mendatang akan lahir geng-geng sebagai konsekuensi logis dari periode keberingasan.

Berbagai tindak kejahatan itu merebak bak jamur di musim hujan. Kuantitas dan kualitasnya kian mengkhawatirkan. Tawuran pelajar, corat-coret di jalanan, penjambretan, hingga pembunuhan yang berlatar belakang sepele seolah menjadi menu berita setiap hari. Nyawa menjadi barang yang murah. Nyawa binatang sembelihan pun masih ada harganya, dibandingkan dengan melayangnya manusia-manusia yang mati konyol.

Ketika pembunuhan itu di interogasi pihak berwajib umumnya menyesal telah berbuat seperti itu. Saat berbuat, mereka tidak berfikir panjang bahwa perbuatannya akan berbuntut panjang bahkan menyebabkan dirinya di penjara bertahun-tahun. Saat membunuh, yang dipikirkan adalah kepuasan sesaat demi melampiaskan kemarahannya. Itulah pola pikir instan. Kesalahan besar yang dilakukan beberapa detik, tapi kerugiannya bertahun-tahun.

Sementara jumlah korban yang meninggal akibat perkelahian dan tawuran sudah sulit dihitung jari. Tahun 1995-2000 tercatat lebih dari 200 orang pelajar meninggal. Dari tahun ke tahun tendensi perkelahian semakin meningkat yang tentu saja akan diikuti jatuh korban jiwa lebih banyak lagi. Belum lagi korban akibat tawuran antar kampung.

Alasan mereka berkelahi dan membunuh menurut angket dalam media masa swasta nasional, diantaranya karena membela harga diri kelompoknya. Dan ternyata alasan inilah yang terbanyak, yakni mencapai 50%. Selanjutnya adalah karena tersinggung dan membawa harga dirinya, kira-kira (28%). Kemudian yang tersinggung dan membalas dendam ada (22%) nya.

Mau tak mau, fenomena semacam ini merupakan kejutan-kejutan tersendiri bagi penikmat hidup. Mungkinkah agresivitas, ketidakstabilan, dan rasa ketidaksamaan itu sebagai akibat dari tatanan global yang menciptakan iklim ganda. Semua itu cenderung mengabaikan sisi kebaikan, kelembutan dan kemanusiaan.

Menurut Dr.Kartini Kartono (1996) , hal itu disebabkan antara lain :
1)     Adanya dis-organisasi sosial. Yaitu berkurangnya tata nilai dan aturan-aturan tingkah laku sosial terhadap anggota-anggota kelompok lain sebagai akibat terputusnya simbol-simbol sosial yang parah dan sangat luas sehingga kontrol-kontrol sosial dahulu menjadi pudar dan korelasi kepribadian dengan budaya lama menjadi hancur berantakan digantikan dengan budaya batu yang membingungkan dan menjadikan masyarakat tidak higienis secara sosial.
2)     Adanya dis-organisasi personal. Yaitu kekalutan, kepanikan, kecemasan, dan kebingungan individu sebagai akibat dari dis-organisasi sosial diatas sehingga orang merasa ngeri dan takut ditinggalkan tanpa pengawasan dan perlindungan.

Timbullah kemudian perubahan tingkah laku individu dan perubahan-perubahan sosial di tengah masyarakat sekaligus juga berlangsung perkembangan yang tidak seimbang dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga banyak disharmoni atau ketidak mampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan gelombang-gelombang perubahan modern.

Tak heran jika anggota kepolisian bertanya, “Untuk apa membawa senjata tajam ke sekolah?” “Saya takut dipukuli !”, “Kalau takut dipukuli, berarti kamu punya musuh dong. Musuhmu siapa?” “Itu pak ! pelajar-pelajar !”. “Pelajar yang mana?”

Si pelajar yang tertangkap membawa senjata tajam itu tidak bisa menjawab. Mimik wajahnya ketika disorot kamera televisi, mengisyaratkan sesuatu kebingungan. Dalam hatinya pun lantas bertanya-tanya sendiri : “Sebenarnya musuh saya ini siapa ?”

Kondisi seperti ini telah menghantui remaja masa kini, mereka merasa tidak aman jika tidak membawa senjata tajam. Alhasil, ketika pihak kepolisian merazia sekitar 250 orang pelajar ibu kota, hampir 50% dari mereka membawa senjata tajam dalam berbagai bentuk. Sehingga menurut I Noman Naya MA., peneliti masalah remaja, berpendapat bahwa kenakalan remaja kini, bukan kenakalan bisa, tapi sudah menjurus tingkat kriminalitas.

Sementara itu, jika Anda tanya remaja putri yang rela berpose telanjang di tabloid-tabloid, mereka menjawab : “itulah jalan pintas untuk menjadi selebritis”. Dengan menjual kemolekan tubuhnya, diharapkan dia cepat terkenal dan dilirik para produser. Mereka tidak pernah berpikir akibat yang ditimbulkan yaitu munculnya fantasi seks dikalangan remaja yang berakibat merebaknya perkosaan atau kejahatan seks lainnya. Tak heran lagi berita anak ingusan memperkosa balita, paman memperkosa keponakan, atau anak-anak SMU memperkosa gadis yang masih SLTP, bahkan kini muncul menjijikan dan sungguh terkutuk, kasus anak memperkosa ibu kandungnya, kakek memperkosa cucunya, dan ayah memperkosa anak kandungnya sendiri. Na’udzubillahi mindzalik.

Jika remaja yang memakai anting ditanya, kenapa rela menindik hidung dan telinganya untuk dipasangkan anting ? .... Mereka enteng saja menjawab : “Biar disebut remaja gaul !”. Padahal tidak ada untungnya, yang melihat pun belum tentu memandang hal itu cermin remaja gaul. Begitu pula remaja putri yang memakai baju ketat, telanjang dada, atau memakai rok mini, umumnya hanya mengikuti zaman, mengikuti mode yang lagi in. Mereka tidak sadar bahwa perilakunya mengundang pemerkosa.

Merebaknya perilaku instan ini hakikatnya peniruan dari akting para artis di media-media, terutama televisi. Namun mereka tidak akan pernah peduli dengan semua itu. Seperti halnya syetan tidak akan pernah peduli akibat buruk yang dialami manusia yang digodanya. Motivasi dan tipu daya syetan memiliki kemiripan dengan para artis. Simak saja firman Allah Swt. berikut ini :
Artinya : “Syetan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka , padahal syetan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS.An-Nisaa : 120)

Menggaris bawahi pendapat Dr.Kartini Kartono diatas, nampaknya jelas, bahwa akar permasalahannya adalah krisis moral atau krisis akhlakul karimah dalam jiwa remaja masa kini. Betapa tidak, waktu mereka untuk belajar agama sangat sempit digeser oleh berbagai jenis hiburan dan tayangan acara televisi yang menghabiskan waktu dengan materi yang tidak mendidik.

Hal itu lebih diperparah lagi dengan dikuranginya jam pendidikan agama disekolah-sekolah umum, dasar dan menengah (SD, SLTP, dan SLTA), dari empat jam pelajaran perminggu, menjadi dua jam pelajaran perminggu, itu juga kalau guru agamanya ada, karena akhir-akhir ini disinyalir banyak sekolah yang tidak memiliki guru agama.

Disamping itu, keluarga sebagai “lembaga” pertama dan paling utama, kini cenderung sepi. Kedua orang tua bekerja dan anak dibiarkan menentukan pendidikan dan panutannya sendiri. Atau mungkin ibu ada di rumah, namun ia tidak menerapkan pendidikan karakter akhlak di keluarga bahkan secara tidak langsung, anak disuruh menyesuaikan diri dengan dunia modern. Mereka disediakan kamar sendiri dengan seperangkat video game dan komputer yang memungkinkan anak menemukan celah-celah buruk dari media tersebut berupa pornografi, kekerasan dan penghamburan waktu tanpa kontrol dari orang tua.

Sedangkan masa remaja merupakan masa transisi. Menurut Dr.Umar Hasyim (1995), bahwa keadaan ini merupakan masa berbahaya baginya sebab ia mengalami hidup di dua alam, yakni alam khayalan dan alam nyata, dimana banyak ditemukan gejolak jiwa dan fisik. Masa transisi merupakan masa perpindahan alam khayalan ke alam nyata yang mana banyak remaja berkhayal bahwa dirinya seorang super hero di segala hal.

Dalam kondisi seperti itu, remaja memerlukan “subyek moral” orang dewasa yang dikaguminya. Anak remaja cenderung mengidentifikasi orang dewasa dalam berbagai hal yang dikaguminya seperti cara berpakaian, cara bergaul, sikap, sifat, dan cara berfikir.

Maka peran orang tua dalam masa ini sangat diperlukan dalam memberikan arahan dan petunjuk ke arah identitas yang Islami.

Hal ini sebaiknya (seharusnya) ditempuh dari semenjak anak masih kecil hingga menemukan kedewasaannya, mengingat, “didikan” itu lain dengan “dadakan” perlu kontinuetas dan kesungguhan.

Untunglah ditengah-tengah kelabilan moral remaja yang terjadi saat ini, bermunculan orang-orang yang dengan bakat dan kepandaiannya berceramah hadir ditengah-tengah mereka dengan gayanya sendiri. Karena musim sekarang adalah musim remaja berkomunikasi dengan bahasa gaul, maka hadirlah ustadz dengan bahasa gaul. Dia hadir dan menyelami jiwa kawula muda yang sebenarnya amat haus dengan siraman rohani. Maka kehadirannya amat pas dan selalu ditunggu oleh kawula muda.

Fenomena ini patut disyukuri, karena bagaimanapun niat seseorang dalam berdakwah, dampaknya masih lebih baik, dari pada tidak ada sama sekali. Dengan siraman rohani yang dilakukan secara kontinue, maka akan menjadikan jiwa remaja kuat, giat berusaha dan tidak mengambil sesuatu yang instan belaka. Sebab jika remaja sudah menjadi penikmat barang-barang instan, maka bagaimana dengan anak keturunan mereka ?. Padahal dalam Al-Qur’an Allah Swt. telah berfirman :
Artinya : “Dan hendaklah kalian takut jika meninggalkan di belakang kalian keturunan yang lemah (moral).” (QS.An-Nisaa : 9)

Sumber : Faruq Al Farabi, Buku Remaja Gaul Kebablasan, Penerbit Lintas Media Jombang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Silahkan Jika Anda Ingin Memberikan Komentar, Namun Tolong Gunakan Bahasa Yang Sopan"