REMAJA
MAUNYA YANG SERBA INSTAN
Ada
peneliti remaja yang mengatakan bahwa remaja sekarang mempunyai karakter yang
1600 amat jauh berbeda dengan remaja-remaja tempo dulu. Jika remaja
zaman dulu cenderung aktif, kreatif, ulet dan mau berusaha. Sedang remaja
sekarang sudah kadung dimanjakan oleh segala macam tontonan dan makanan instan.
Zaman yang serba ada ini ternyata
mampu mencuci otak
remaja menjadi seorang
pemalas dan lamban
dalam berfikir serta bertindak. Apalagi ditambah dengan adanya teknologi yang
tidak dibarengi kemajuan akhlak, maka teknologi itu akan menjadi bumerang bagi
mereka sendiri.
Bagi
sebagian orang, fenomena ini menjadi sebuah kekalutan tersendiri. Kekalutan dan
ketegangan jiwa merebak dan rasa aman menjadi hal yang mahal. Lihat saja,
setiap hari televisi menyuguhkan tontonan gratis tentang seks, kekerasan dan
horor. Semuanya telah nyata-nyata meracuni generasi kini. Akibatnya, kejahatan
remaja modern terkadang kelewat sadis. Tak jarang sadisme itu dilakukan karena
hal sepele bahkan sama sekali tidak di latar belakangi masalah, hanya iseng.
Itulah perilaku instan.
Perilaku
instan adalah perilaku yang tidak bertanggung jawab, semau gue, dan mengingkari
norma. Perilaku yang hanya memikirkan diri sendiri. Kerugian orang lain yang
diakibatkan perbuatannya, dianggap urusan orang itu. Perilaku instan dapat juga
diibaratkan lempar batu sembunyi tangan, yaitu melemparkan kesalahan pada orang
lain.
Kata
instan sendiri dapat berarti hangat, siap saji, mudah, cepat, atau jalan
pintas. Instan juga dapat berarti mudah basi, norak atau tidak pantas.
Di era
modern ini, perilaku instan tengah menggejala seiring dengan zaman yang semakin
instan. Di era ini ada restoran instan (cepat saji), mie instan (mudah diseduh)
dan makanan instan lainnya. Umumnya orang ingin cepat dan mudah. Begitu juga
dalam perilaku, banyak yang mengambil jalan pintas agar mudah mencapai tujuan,
tak peduli orang lain dilangkahi atau dirugikan.
Pantas
jika periode ini dikatakan sebagai periode keberingasan. Buktinya perkelahian
remaja yang dulu hanya terbatas di Jakarta, kini merambah ke kota-kota besar
lainnya seperti Bandung, Surabaya, Semarang, dan lain-lain. Bahkan akhir-akhir
ini perkelahian pemuda antar kampung sudah menjadi trend mark. Bukan hal
mustahil masa mendatang akan lahir geng-geng sebagai konsekuensi logis dari
periode keberingasan.
Berbagai
tindak kejahatan itu merebak bak jamur di musim hujan. Kuantitas dan
kualitasnya kian mengkhawatirkan. Tawuran pelajar, corat-coret di jalanan,
penjambretan, hingga pembunuhan yang berlatar belakang sepele seolah menjadi
menu berita setiap hari. Nyawa menjadi barang yang murah. Nyawa binatang
sembelihan pun masih ada harganya, dibandingkan dengan melayangnya
manusia-manusia yang mati konyol.
Ketika
pembunuhan itu di interogasi pihak berwajib umumnya menyesal telah berbuat
seperti itu. Saat berbuat, mereka tidak berfikir panjang bahwa perbuatannya
akan berbuntut panjang bahkan menyebabkan dirinya di penjara bertahun-tahun.
Saat membunuh, yang dipikirkan adalah kepuasan sesaat demi melampiaskan
kemarahannya. Itulah pola pikir instan. Kesalahan besar yang dilakukan beberapa
detik, tapi kerugiannya bertahun-tahun.
Sementara
jumlah korban yang meninggal akibat perkelahian dan tawuran sudah sulit
dihitung jari. Tahun 1995-2000 tercatat lebih dari 200 orang pelajar meninggal.
Dari tahun ke tahun tendensi perkelahian semakin meningkat yang tentu saja akan
diikuti jatuh korban jiwa lebih banyak lagi. Belum lagi korban akibat tawuran
antar kampung.
Alasan
mereka berkelahi dan membunuh menurut angket dalam media masa swasta nasional,
diantaranya karena membela harga diri kelompoknya. Dan ternyata alasan inilah
yang terbanyak, yakni mencapai 50%. Selanjutnya adalah karena tersinggung dan
membawa harga dirinya, kira-kira (28%). Kemudian yang tersinggung dan membalas
dendam ada (22%) nya.
Mau tak
mau, fenomena semacam ini merupakan kejutan-kejutan tersendiri bagi penikmat
hidup. Mungkinkah agresivitas, ketidakstabilan, dan rasa ketidaksamaan itu
sebagai akibat dari tatanan global yang menciptakan iklim ganda. Semua itu
cenderung mengabaikan sisi kebaikan, kelembutan dan kemanusiaan.
Menurut
Dr.Kartini Kartono (1996) , hal itu disebabkan antara lain :
1)
Adanya dis-organisasi sosial. Yaitu berkurangnya tata
nilai dan aturan-aturan tingkah laku sosial terhadap anggota-anggota kelompok
lain sebagai akibat terputusnya simbol-simbol sosial yang parah dan sangat luas
sehingga kontrol-kontrol sosial dahulu menjadi pudar dan korelasi kepribadian
dengan budaya lama menjadi hancur berantakan digantikan dengan budaya batu yang
membingungkan dan menjadikan masyarakat tidak higienis secara sosial.
2)
Adanya dis-organisasi personal. Yaitu kekalutan,
kepanikan, kecemasan, dan kebingungan individu sebagai akibat dari
dis-organisasi sosial diatas sehingga orang merasa ngeri dan takut ditinggalkan
tanpa pengawasan dan perlindungan.
Timbullah
kemudian perubahan tingkah laku individu dan perubahan-perubahan sosial di
tengah masyarakat sekaligus juga berlangsung perkembangan yang tidak seimbang
dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga banyak disharmoni atau ketidak mampuan
individu untuk menyesuaikan diri dengan gelombang-gelombang perubahan modern.
Tak heran
jika anggota kepolisian bertanya, “Untuk apa membawa senjata tajam ke
sekolah?” “Saya takut dipukuli !”, “Kalau takut dipukuli, berarti kamu punya
musuh dong. Musuhmu siapa?” “Itu pak ! pelajar-pelajar !”. “Pelajar yang mana?”
Si
pelajar yang tertangkap membawa senjata tajam itu tidak bisa menjawab. Mimik
wajahnya ketika disorot kamera televisi, mengisyaratkan sesuatu kebingungan.
Dalam hatinya pun lantas bertanya-tanya sendiri : “Sebenarnya musuh saya ini
siapa ?”
Kondisi
seperti ini telah menghantui remaja masa kini, mereka merasa tidak aman jika
tidak membawa senjata tajam. Alhasil, ketika pihak kepolisian merazia sekitar
250 orang pelajar ibu kota, hampir 50% dari mereka membawa senjata tajam dalam
berbagai bentuk. Sehingga menurut I Noman Naya MA., peneliti masalah remaja,
berpendapat bahwa kenakalan remaja kini, bukan kenakalan bisa, tapi sudah
menjurus tingkat kriminalitas.
Sementara
itu, jika Anda tanya remaja putri yang rela berpose telanjang di
tabloid-tabloid, mereka menjawab : “itulah jalan pintas untuk menjadi
selebritis”. Dengan menjual kemolekan tubuhnya, diharapkan dia cepat terkenal
dan dilirik para produser. Mereka tidak pernah berpikir akibat yang ditimbulkan
yaitu munculnya fantasi seks dikalangan remaja yang berakibat merebaknya
perkosaan atau kejahatan seks lainnya. Tak heran lagi berita anak ingusan
memperkosa balita, paman memperkosa keponakan, atau anak-anak SMU memperkosa
gadis yang masih SLTP, bahkan kini muncul menjijikan dan sungguh terkutuk,
kasus anak memperkosa ibu kandungnya, kakek memperkosa cucunya, dan ayah
memperkosa anak kandungnya sendiri. Na’udzubillahi mindzalik.
Jika remaja
yang memakai anting ditanya, kenapa rela menindik hidung dan telinganya untuk
dipasangkan anting ? .... Mereka enteng saja menjawab : “Biar disebut remaja
gaul !”. Padahal tidak ada untungnya, yang melihat pun belum tentu
memandang hal itu cermin remaja gaul. Begitu pula remaja putri yang memakai
baju ketat, telanjang dada, atau memakai rok mini, umumnya hanya mengikuti
zaman, mengikuti mode yang lagi in. Mereka tidak sadar bahwa perilakunya
mengundang pemerkosa.
Merebaknya
perilaku instan ini hakikatnya peniruan dari akting para artis di media-media,
terutama televisi. Namun mereka tidak akan pernah peduli dengan semua itu.
Seperti halnya syetan tidak akan pernah peduli akibat buruk yang dialami
manusia yang digodanya. Motivasi dan tipu daya syetan memiliki kemiripan dengan
para artis. Simak saja firman Allah Swt. berikut ini :
Artinya : “Syetan itu memberikan janji-janji kepada
mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka , padahal syetan itu
tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS.An-Nisaa :
120)
Menggaris
bawahi pendapat Dr.Kartini Kartono diatas, nampaknya jelas, bahwa akar
permasalahannya adalah krisis moral atau krisis akhlakul karimah dalam jiwa
remaja masa kini. Betapa tidak, waktu mereka untuk belajar agama sangat sempit
digeser oleh berbagai jenis hiburan dan tayangan acara televisi yang
menghabiskan waktu dengan materi yang tidak mendidik.
Hal itu
lebih diperparah lagi dengan dikuranginya jam pendidikan agama
disekolah-sekolah umum, dasar dan menengah (SD, SLTP, dan SLTA), dari empat jam
pelajaran perminggu, menjadi dua jam pelajaran perminggu, itu juga kalau guru
agamanya ada, karena akhir-akhir ini disinyalir banyak sekolah yang tidak
memiliki guru agama.
Disamping
itu, keluarga sebagai “lembaga” pertama dan paling utama, kini cenderung sepi.
Kedua orang tua bekerja dan anak dibiarkan menentukan pendidikan dan panutannya
sendiri. Atau mungkin ibu ada di rumah, namun ia tidak menerapkan pendidikan
karakter akhlak di keluarga bahkan secara tidak langsung, anak disuruh
menyesuaikan diri dengan dunia modern. Mereka disediakan kamar sendiri dengan
seperangkat video game dan komputer yang memungkinkan anak menemukan
celah-celah buruk dari media tersebut berupa pornografi, kekerasan dan
penghamburan waktu tanpa kontrol dari orang tua.
Sedangkan
masa remaja merupakan masa transisi. Menurut Dr.Umar Hasyim (1995), bahwa
keadaan ini merupakan masa berbahaya baginya sebab ia mengalami hidup di dua
alam, yakni alam khayalan dan alam nyata, dimana banyak ditemukan gejolak jiwa
dan fisik. Masa transisi merupakan masa perpindahan alam khayalan ke alam nyata
yang mana banyak remaja berkhayal bahwa dirinya seorang super hero di segala
hal.
Dalam kondisi
seperti itu, remaja memerlukan “subyek moral” orang dewasa yang dikaguminya.
Anak remaja cenderung mengidentifikasi orang dewasa dalam berbagai hal yang
dikaguminya seperti cara berpakaian, cara bergaul, sikap, sifat, dan cara
berfikir.
Maka
peran orang tua dalam masa ini sangat diperlukan dalam memberikan arahan dan
petunjuk ke arah identitas yang Islami.
Hal ini
sebaiknya (seharusnya) ditempuh dari semenjak anak masih kecil hingga menemukan
kedewasaannya, mengingat, “didikan” itu lain dengan “dadakan”
perlu kontinuetas dan kesungguhan.
Untunglah
ditengah-tengah kelabilan moral remaja yang terjadi saat ini, bermunculan
orang-orang yang dengan bakat dan kepandaiannya berceramah hadir
ditengah-tengah mereka dengan gayanya sendiri. Karena musim sekarang adalah
musim remaja berkomunikasi dengan bahasa gaul, maka hadirlah ustadz dengan
bahasa gaul. Dia hadir dan menyelami jiwa kawula muda yang sebenarnya amat haus
dengan siraman rohani. Maka kehadirannya amat pas dan selalu ditunggu oleh
kawula muda.
Fenomena
ini patut disyukuri, karena bagaimanapun niat seseorang dalam berdakwah,
dampaknya masih lebih baik, dari pada tidak ada sama sekali. Dengan siraman
rohani yang dilakukan secara kontinue, maka akan menjadikan jiwa remaja kuat,
giat berusaha dan tidak mengambil sesuatu yang instan belaka. Sebab jika remaja
sudah menjadi penikmat barang-barang instan, maka bagaimana dengan anak
keturunan mereka ?. Padahal dalam Al-Qur’an Allah Swt. telah berfirman :
Artinya : “Dan hendaklah kalian takut jika
meninggalkan di belakang kalian keturunan yang lemah (moral).” (QS.An-Nisaa
: 9)
Sumber : Faruq Al Farabi, Buku Remaja Gaul Kebablasan,
Penerbit Lintas Media Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Silahkan Jika Anda Ingin Memberikan Komentar, Namun Tolong Gunakan Bahasa Yang Sopan"